Selasa, 12 Maret 2013

Penyesalan Yang Terlambat

"Seperti halnya pasangan lain di kota-kota besar, meninggalkan anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja adalah hal biasa bagi pasangan yang sibuk.. Begitupun dengan pasangan muda ini, suami istri sibuk bekerja dan anak tunggalnya seorang anak perempuan yang cantik yang masih berusia 3,5 tahun seringkali ditinggal sendirian di rumah cuma dengan pembantu.
Dia selalu main sendiri, kerap ditinggalkan pembantunya yang juga sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga di dapur, bermain sendiri bersama ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya..
Pada suatu hari, dia melihat sebatang paku karat. Dan diapun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan. Tetapi, karena lantainya terbuat dari marmer, maka coretan tersebut tidak kelihatan.. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya yang terparkir di tempat itu, --Hari itu, kebetulan ayah dan ibunya bermotor ke kantor, karena ingin menghindari macet--. Ya... karena mobil itu berwarna gelap, maka coretannya tampak jelas.. Melihat hal tersebut, anak itu makin bersemangat membuat coretan2 di mobil tersebut sesuai dengan kreativitasnya.. Setelah sebelah kanan mobil tersebut penuh dengan coretan paku, maka ia beralih kesebelah kiri mobil.. Dicoret-coretnya kembali.. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, lalu gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya, mengikuti imajinasinya. Kejadian ini berlangsung tanpa disadari oleh pembantu rumah..

Tiba pada saat petang, pulanglah pasangan suami istri ini. Melihat kondisi mobil baru mereka, yang baru dibelinya setahun lalu dengan cicilan, si Bapak pun menjerit marah... "Kerja'an siapa ini ?????" teriaknya... Pembantu rumah yang tersentak, mendengar teriakan sang majikan berlari keluar.. Dia terkejut, mukanya merah menahan takut saat melihat wajah marah membara tuannya.

Si anak yang mendengar suara ayahnya berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja diapun berkata. "Dita yang membuat gambar itu ayah.... Cantik kan ??"... katanya sambil memeluk ayahnya bermanja seperti biasa..
Mendengar hal itu, si ayah kehilangan kesabarannya.. Beliau mengambil sebatang ranting kecil dari pohon didepan rumah. Terus dipukulkannya berkali-kali ketelapak tangan anaknya.. Si anak yang tak mengerti menangis kesakitan, tapi si ayah bukannya berhenti, dia terus memukuli telapak tangan anak tersebut.. Puas memukul telapak tangan, beliau memukul pula punggung telapak anaknya.. Si ibu yang melihat, cuma terdiam.. seolah merestui hukuman suaminya terhadap anaknya.. Si ayah cukup lama memukul-mukul kedua tangan anak tersebut dan tidak menghiraukan jeritan kesakitan anaknya..

Setelah puas memukuli anaknya, mereka berdua masuk kedalam rumah, sedangkan anak tersebut dibiarkannya digendong pembantu yang membawanya kekamar.. Si pembantu terperanjat melihat kondisi telapak dan punggung tangan si anak yang luka-luka dan berdarah.. Pembantu itupun membersihkan luka si anak sambil menangis.. Malam itu, pasangan tersebut sengaja membiarkan anaknya tidur dengan pembantunya..

Keesokan harinya, melihat kedua belah tangan anak majikannya bengkak, diapun mengadu ketuannya.. tapi apa jawaban tuannya ? Beliau cuma menyuruh mengoleskan obat luka kepada pembantunya untuk mengobati tangan anaknya yang bengkak. Berhari-hari, sepulang bekerja, pasangan suami istri tersebut tidak memperhatikan kondisi anaknya yang dirawat di kamar pembantu. Si ayah sengaja ingin memberi pelajaran sebagai hukuman pada putri kecilnya.. Sampai pada hari ketiga, si pembantu melapor pada nyonyanya.. "nyah, Dita demam..." "kasih minum obat ajah, mbok".. jawab si ibu..

Masuk hari keempat, si pembantu melapor kembali pada tuannya, kalau suhu badan majikan kecilnya teramat tinggi panasnya.. "Okey, nanti sore kita bawa dia ke klinik.. jam 05.00 harus sudah siap...!!" demikian kata tuannya. Dan tiba sore hari, dibawalah putri kecil mereka ke dokter.. Ketika diperiksakan, kondisi anak kecil tersebut sudah sangat lemah. Dokterpun menyarankan untuk dibawa ke Rumah Sakit karena kondisi anak tersebut sudah serius.. Setelah beberapa hari dirawat inap, dokter memanggil pasangan tersebut.. "Tidak ada pilihan.." demikian kata dokter. Dokter menyarankan agar kedua tangan anak itu diamputasi karena sakitnya sudah terlalu parah dan terkena infeksi akut.. "Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku kebawah.. " demikian kata dokter.. Mendengar hal tersebut, pasangan ini bagaikan terkena halilintar.. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa mau dikata.. Si ibu meraung merangkul anaknya.. Dan dengan berat hati serta bercucuran air mata, si ayah menanda tangani surat persetujuan amputasi.. tangannya bergetar, gemetar hebat..

Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikan habis, si anak menangis kesakitan.. Diapun merasa heran, melihat kedua tangannya berbalut kassa putih.. Dalam siksaan rasa sakit yang tiada terperi, sambil menangis terisak si anak berkata pada orang tuanya.. "Ayah.. Ibu.. Dita tidak akan melakukannya lagi.. Dita tak mau lagi dipukul ayah, Dita gak akan nakal lagi.. Dita sayang ayah, Dita sayang ibu.."
Ayah-Ibunya hanya bisa menangis mendengar rintihan kesakitan anaknya.. "Ayah, kembalikan tangan Dita.. untuk apa diambil ? Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil ayah lagi... Dita janji gak akan nakal lagi.. Bagaimana cara nanti Dita mau makan , mau main , kalau Dita tidak ada tangan lagi ??"
Ibunya serasa hancur hatinya mendengar kata-kata putri kecilnya.. Tapi nasi sudah menjadi bubur.. Semua sudah terlanjur..

Tahun demi tahun berselang, anak itupun meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan, dan dia masih tidak mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong padahal dia sudah meminta maafberulang kali..
Sementara itu, kedua orang tuanya hidup dalam penyesalan.. Bertahun-tahun menahan kepedihan dan kehancuran batin.. sampai suatu saat sang ayah tidak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yang tiada bertepi.
Namun si anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tetap hidup tegar dan selalu menyayangi serta merindukan ayahnya...."

Sahabat... Cerita diatas, merupakan cerminan untuk kita, agar dalam bertindak kita selalu mengedepankan akal sehat dan pikiran.. Bijaksanalah dalam mengendalikan emosi.. Jangan sampai kita melakukan sebuah tindakan yang akan kita sesali seumur hidup kita...
»»  Baca lebih lengkap...

Sekantong Bibit Kacang Tanah


Dikisahkan, ada seorang gadis muda yang bertekad membantu desa asalnya yang miskin dan terbelakang. Dia rajin mengusahakan segala daya upaya untuk bisa menghasilkan uang guna membeli buku dan perlengkapan sekolah anak-anak di sana. Tetapi, sehebat apapun usahanya, terasa masih saja serba kekurangan.

Hingga suatu hari, dia mendapatkan janji bertemu dengan seorang kaya di kota, dengan harapan si tuan kaya mau memberi sumbangan uang. Setelah bertemu, si gadis muda menceritakan keadaan desanya dan sarana pendidikan yang jauh dari memadai, serta memohonkan bantuan untuk mereka.

Dengan nada bosan dan tidak bersahabat, tuan kaya berkomentar santai, "Gadis muda. Kamu salah alamat. Di sini bukan badan amal yang memberi sumbangan cuma-cuma. Kalau memang anak-anak desamu tidak bisa sekolah, ya itu nasib mereka. Kenapa aku yang harus membantu?"

Tampak dia tidak mempercayai sedikitpun ketulusan gadis muda di hadapannya. Dengan pandangan tidak berdaya dan putus asa, si gadis tahu, usahanya telah gagal.

Tetapi sebelum pergi, dia mencoba berusaha yang terakhir, "Tuan, kalau boleh, apakah saya bisa meminjam sekantong bibit unggul biji kacang yang tuan hasilkan selama ini? Anggaplah hari ini tuan telah membantu kami dan saya berjanji tidak akan mengganggu tuan lagi."

Dengan heran dan karena ingin segera mengusir si gadis, tanpa banyak cakap, segera diberinya sekantong bibit kacang tanah yang diminta. Sepulang dari sana, si gadis memulai gerakan menanam biji kacang tanah di atas tanah penduduk miskin, dengan tekad sebanyak satu kantong biji kacang tanah, akan menghasilkan kacang sebanyak yang bisa tumbuh di sana.

Usahanya berhasil. Dan beberapa saat setelah panen, si gadis kembali mendatangi si hartawan, "Tuan, saya datang kemari dengan tujuan untuk mengembalikan sekantong biji kacang tanah yang saya pinjam waktu itu."

Lalu si gadis menceritakan keberhasilan mereka menanam hingga memanen, dari sekantong biji kacang menjadi sebanyak itu. Si tuan kaya terkesan dengan hasil usaha dan ketulusan si gadis muda dan berkenan datang ke desa meninjau.

Dia sangat terkesan dan kemudian malahan menyumbangkan alat-alat pertanian, mengajarkan cara bertani yang baik, dan membeli semua hasil panen yang dihasilkan desa tersebut. Tiba-tiba kehidupan di desa itu berubah total. Mereka mampu menghasilkan uang, hidup lebih sejahtera, dan mampu membangun sekolah untuk pendidikan anak-anaknya. Sungguh perjuangan seorang gadis muda yang membanggakan dan nyata! Tidak ada usaha yang sia-sia! Seluruh penduduk desa selalu bersyukur dan berterima kasih atas jasa si gadis muda.

Sahabat yang luar biasa,

Kehidupan di dunia ini sangat realistis. Saat kita dalam keadaan lemah, mundur, gagal, banyak orang mencemooh kita. Saat kita ingin memulai usaha atau ada ide-ide baru yang mau kita kerjakan, ada saja orang yang tidak mau membantu tetapi meremehkan, menghina dan memandang sebelah mata. Ya, tidak usah marah, dendam ataupun membenci. Lebih baik siapkan segalanya secara maksimal dan perjuangkan sampai berhasil. Setelah ada bukti sukses baru orang akan percaya dan lambat atau cepat akan memberi pengakuan pada kita.

Tapi jangan heran, saat kita sukses ada pula orang yg menunggu kapan kita jatuh. Maka yang paling utama adalah sikap kita. Sewaktu kita gagal dan diremehkan tidak marah. Sewaktu kita sukses, tidak lupa diri. Walaupun sukses tetap rendah hati dan bersahaja. Dan, tetap optimis menciptakan kesuksesan yang lebih besar.

»»  Baca lebih lengkap...

Sepotong Maaf Untuk Mama

"Ki... Tolongin mama sebentar dong." Aku merungut sambil beringsut setengah malas. Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah. Sejak bang Edo kuliah di Jakarta, akulah yang jadi tempat mama minta tolong. Biasanya bang Edolah yang mengantar mama ke supermarket, ke pengajian, atau sekadar membawakan tas mama yang pulang dari kantor. Rajin ya ?

Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang aku ? Wuih, biasanya aku dengan bandelnya menghindar. Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi.

"Ki, anterin mama ke rumahnya bu Dedi ya ? Ada arisan." Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Aduh, rasanya malas sekali harus menghabiskan berjam-jam bersama ibu-ibu. Belum lagi nanti ditodong pertanyaan, "Mana nih calonnya? Kan kuliahnya sudah tingkat akhir...". Risih saja ditanya hal-hal semacam itu. "Mmm, ini Ma. Kiki mau belajar, nanti ujian." "Yah, Ki. Kan cuma sebentar. Paling dua jam..." "Soalnya bahannya banyak banget, Ma. Nanti Kiki dapat nilai jelek lagi." "Ya, sudah. Mama pergi sendiri..."

Aku menunduk sambil pergi. Rasanya tidak enak melihat sinar kecewa di mata mama. Memang, sejak papa meninggal, mama makin sering minta ditemani ke mana-mana. Mungkin mama kesepian.Di hari kerja, mama disibukkan dengan urusan kantornya. Sedang di akhir pekan, mama selalu minta ditemani anak-anaknya. Kalau bang Edo sih anak manis. Dia mau saja menuruti keinginan mama. Kalau aku dilarang pergi di akhir pekan, rasanya seperti hukuman. Maklumlah aktivis. Kesempatan ada di rumah tidak terlalu banyak.

Aku masuk ke dalam kamarku dan mulai membuka buku. Sebetulnya aku tidak bohong sih. Memang akan ada ujian. Tapi sebenarnya masih dua minggu lagi. Jadi aku tidak bohong kan? Aku berusaha berkonsentrasi memahami apa yang tertulis di buku tebal itu. Entah kenapa pikiranku malah melayang-layang. Dari jauh terdengar derum mobil mama menjauh dari rumah. Ada perasaan bersalah yang menyelip di hatiku.

Akhir pekan berikutnya, bang Edo pulang ke Bandung. Aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mama senang sekali. Semalam sebelumnya, mama memasakkan semua masakan kesukaan bang Edo. Ah, dasar anak kesayangan. Tapi aku tidak iri. Biarkan saja. Setidaknya akhir pekan ini aku bebas berkeliaran. Tugas jadi pendamping mama diambil alih bang Edo untuk minggu ini.

"Ki, kenapa sih kamu nggak mau nganterin mama ?", tanya bang Edo sambil mencomot sebuah pisang goreng dari atas meja.
Aku hanya melirik sekilas dari komik yang sedang aku baca.
"Ya, biarin aja. Mama kan udah gede. Pergi sendiri kan juga bisa."
"Masa kamu nggak kasian ? Mama tuh sedih banget lho sama kelakuan kamu."
"Kata siapa ?"
"Mama sendiri yang bilang."
"Kan bisa dianter supir. Masa abang nggak ngerti sih ? Urusanku kan banyakjuga."
"Huu... Mana, cuma baca komik gitu !"
Aku cuma bisa nyengir tersindir. Tak lama kemudian abang pergi bersama mama. Kelihatannya mereka akan pergi ke resepsi pernikahan. Habis, bajunya rapi sekali. Tawaran untuk ikut seperti biasa aku tolak.

"Ki, mama minta tolong dong..." Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh, mama.... Belum sempat aku menjawab, mama sudah melongok ke dalam kamar. Aku hanya bisa meringis.
"Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong."
"Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?"
"Iya, tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke sana. Kayaknya berkas-berkas itu ketinggalan deh di sana. Soalnya di mobil udah nggak ada. Bisa nggak kamu ambilin ?"

Aku melongo. Rasanya ingin teriak. Kali ini aku benar-benar sibuk !Besok ada dua tugas yang harus dikumpulkan. Belum lagi sorenya adaujian akhir. Mana sempat mampir-mampir ke rumah orang ? Mana sudah malam begini...
"Aduh, Mama.... Kiki bener-bener sibuk... Besok ada ujian dantugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi..."
"Ya, udah kalo kamu nggak mau.", balas mama dengan ketus.
Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku.
"...Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama Mama...", bisik mama lirih dengan sedikit terisak.
 Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit dengan lesu.
Dengan lemas akhirnya aku memanggil mama.
"Iya deh Ma... Biar Kiki yang pergi..."

Gelap. Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan yang sudah mati.Jalanan jadi tidak jelas terlihat. Capek rasanya harus berusahamelihat. Itulah sebabnya aku tidak suka menyetir malam-malam.

Rumah Bu Joko sebenarnya tidak jauh dari rumah kami. Tapi karena sudah malam, palang-palang jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada penjaganya. Jadinya, aku harus mengambil jalan memutar yang letaknya cukup jauh. Kalau tidak salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup ketika malam adalah... Ah, dari sini belok kiri. Astaghfirulllah... Ternyata ditutup juga... Aku membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya penat sekali. Entah, harus masuk ke kompleks ini lewat jalan yang mana. Akhirnya kususuri perumahan itu jalan demi jalan. Semuanya terkunci. Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku menemukan jalan masuknya. Jalan itu begitu sempit. Jika ada dua mobil berpapasan dari arah yang berlawanan, pastilah salah satunya harus mengalah.

Rasanya lega sekali ketika sampai di depan rumah bu Joko. Kutekanbelnya sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, tetap tidak ada jawaban.Tiga kali, empat kali, hasilnya tetap sama. Aku menunduk lesu.Jangan-jangan Mereka sudah tidur... Hampir saja aku berbalik pulang.Tapi kata-kata mama terngiang di kepalaku. "Tolong ya Ki... Soalnyaberkas-berkas itu mau mama pakai untuk presentasi besok pagi."Akhirnya dengan menelan setumpuk rasa malu, kutekan lagi bel rumah mereka sambil mengucapkan salam keras-keras.

Dari belakang aku mendengar suara berdehem. Aduh, ada hansip. Akumenangguk basa-basi. Aduh, mama ! Bikin malu saja ! "Oh, kertas apa ya ?", tanya bu Joko dengan mata setengah mengantuk. Dasternya melambai-lambai kusut. Aku jadi tidak enak sendiri menganggu malam-malam begini. Menit-menit selanjutnya, kami berdua mencari-cari berkas yang dikatakan mama. Tidak hanya di ruang tamu. Tapi juga di ruang tengah, ruang makan dan dapur. Soalnya tadi mama juga mampir di tempat-tempat itu. Ternyata tetap saja hasilnya nihil. Lalu aku menelepon ke rumah.
"Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di map warna apa ?"
"He..he...he...Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi Isah diturunin dari mobil terus ditaruh di meja makan."
"Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa handphone !"
"Wah, maaf Ki... Mama nggak tahu kamu bawa handphone. Mama kira..."
"Ah, udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !"Aku lantas membanting gagang telepon dengan sedikit kejam. Aku berbalik dan menemukan bu Joko menatapku dengan tatapan ngeri. Aku memaksakan sebuah senyuman, minta maaf lalu pamit secepatnya.

Setengah ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-rintik membuat ruang pandangku semakin sempit. Nyaris jam dua belas malam. Hah, dua jam terbuang percuma. Kalau dipakai untuk mengerjakan tugas, mungkin sekarang sudah selesai... Dasar mama ...

Brakkk!!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Bunyinya seperti kaleng yang robek. Sesaat aku merasa semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa lagi membedakan mana atas dan bawah. Sekujur tubuhku seperti dihimpit dari berbagai arah. Sejenak kesadaranku seperti lenyap.

Penduduk-penduduk sekitar mulai berdatangan. Mereka membantuku keluar dari mobil yang sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu. Ketika kusentuh, rasanya lengket. Ya Tuhan, darah... Tubuhku lebih gemetar karena takut daripada karena sakit.

"Neng, nggak apa-apa neng ?", tanya seseorang. Aku berusaha berdiri walau sempoyongan. Kucoba menggerakkan tangan, kaki, serta ngecek apakah semuanya masih ada. Kupejamkan mata dan berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya tubuhku baik-baik saja. Tidak ada yang patah.

Aku menatap rongsokan mobilku dengan tidak percaya. Ternyata aku menabrak sebuah truk besar yang sedang diparkir di pinggir jalan. Sumpah, aku tidak melihatnya sama sekali tadi !

"Neng, nggak apa-apa ?", ucap seseorang mengulangi pertanyaannya. Aku berusaha menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan darah. Orang di hadapanku lalu mengucap istighfar. Barulah aku sadar apa yang menyebabkannya. Darah segar berlomba mengucur dari mulutku. Lidahku... Aku langsung tak sadarkan diri.

Ketika tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri mengikuti dan menghajarku tanpa ampun. Air mata menetes dari mataku... Ya Tuhan, sakit sekali....

"Udah, Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter bilang kamu butuh banyak istirahat." Aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab tanpa bisa menjawab sepatah kata pun. Hanya bisa mengeluarkan suara merintih yang menyedihkan. Mama ikut menangis mendengarnya. Aku hanya bisa mengira-ngira. Dan dokter pun membenarkannya. Kecelakaan itu tidak mencederaiku parah. Tidak ada tulang yang patah, tidak ada luka dalam. Hanya satu, lidahku nyaris putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi. Akibatnya lidahku harus dijahit.

Sayangnya tidak ada bius yang bisa meredakan sakitnya. Setelah itupun dokter tidak yakin aku bisa berbicara selancar sebelumnya. Tangisku meluber lagi. Yang langsung teringat adalah setumpuk kata-kata dan perilaku kasar yang selama ini kulontarkan pada mama. Ini betul-betul hukuman dari Tuhan ...Walau sepertinya hanya luka ringan, namun sakitnya teramat sangat. Setiap kali jarum disisipkan dan benangnya ditarik, sepertinya nyawaku dirobek dan dikoyak-koyak. Aku hanya bisa melolong tanpa bisa melawan. Apa boleh buat. Kata dokter kalau lukanya di tempat lain, sakitnya mungkin bisa diredam dengan bius. Tapi tidak bisa jika lukanya di lidah.

Hari-hari selanjutnya betul-betul siksaan. Lupakanlah tentang kuliah,tugas atau ujian. Untuk minum saja aku tersiksa. Aku menjerit-jerittiap ada benda yang harus melewati mulutku. Agar tubuhku tidak kekurangan cairan, tubuhku dipasangi infus. Aku hanya bisa menangis. Menangis karena sakit, dan penyesalan. Selama aku dirawat, mamalah yang dengan telaten menungguiku. Dengan sabar ia membantuku untuk apapun yang aku perlukan.

Kami hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai kertas. Berkali-kali aku tuliskan, "Mama, maafkan Kiki..." Mama juga sudah berkali-kali mengatakan telah memaafkan aku. Tapi tetap saja rasa bersalah itu tak kunjung hilang. Ini benar-benar peringatan keras dariTuhan. Aku benar-benar malu. Walau aktif di kegiatan keagamaan,ternyata nilai-nilai itu belum benar-benar mengalir dalam darahku. Aku tersenguk-senguk setiap ingat bagaimana cara aku memperlakukan mama.

Bagaimana mungkin aku merasa diberatkan dengan permintaannya padahal aku sudah menyusahkannya seumur hidup? Tuhan, ampuni aku... Aku benar-benar telah membelakangi nuraniku sendiri.... Jangan biarkan aku mati sebagai anak durhaka.... Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah. Ternyata hukuman ini belum berakhir di situ. Bulan-bulan selanjutnya aku harus berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama membimbingku belajar bicara seperti yang ia lakukan ketika aku kecil.

Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata itu berhasilkuucapkan walau patah-patah. "Mama... Maafkan Kiki..."


Sumber : Mahasiswi ITB
»»  Baca lebih lengkap...

Kerja adalah Kehormatan

Seorang eksekutif muda sedang beristirahat siang di sebuah kafe terbuka. Sambil sibuk mengetik di laptopnya, saat itu seorang gadis kecil yang membawa beberapa tangkai bunga menghampirinya.

”Om beli bunga Om.”

”Tidak Dik, saya tidak butuh,” ujar eksekutif muda itu tetap sibuk dengan laptopnya.

”Satu saja Om, kan bunganya bisa untuk kekasih atau istri Om,” rayu si gadis kecil.

Setengah kesal dengan nada tinggi karena merasa terganggu keasikannya si pemuda berkata, ”Adik kecil tidak melihat Om sedang sibuk? Kapan-kapan ya kalo Om butuh Om akan beli bunga dari kamu.”

Mendengar ucapan si pemuda, gadis kecil itu pun kemudian beralih ke orang-orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Setelah menyelesaikan istirahat siangnya, si pemuda segera beranjak dari kafe itu. Saat berjalan keluar ia berjumpa lagi dengan si gadis kecil penjual bunga yang kembali mendekatinya.

”Sudah selesai kerja Om, sekarang beli bunga ini dong Om, murah kok satu tangkai saja.” Bercampur antara jengkel dan kasihan si pemuda mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya.

”Ini uang 2000 rupiah buat kamu. Om tidak mau bunganya, anggap saja ini sedekah untuk kamu,” ujar si pemuda sambil mengangsurkan uangnya kepada si gadis kecil. Uang itu diambilnya, tetapi bukan untuk disimpan, melainkan ia berikan kepada pengemis tua yang kebetulan lewat di sekitar sana.

Pemuda itu keheranan dan sedikit tersinggung. ”Kenapa uang tadi tidak kamu ambil, malah kamu berikan kepada pengemis?” Dengan keluguannya si gadis kecil menjawab, ”Maaf Om, saya sudah berjanji dengan ibu saya bahwa saya harus menjual bunga-bunga ini dan bukan mendapatkan uang dari meminta-minta. Ibu saya selalu berpesan walaupun tidak punya uang kita tidak bolah menjadi pengemis.”

Pemuda itu tertegun, betapa ia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari seorang anak kecil bahwa kerja adalah sebuah kehormatan, meski hasil tidak seberapa tetapi keringat yang menetes dari hasil kerja keras adalah sebuah kebanggaan. Si pemuda itu pun akhirnya mengeluarkan dompetnya dan membeli semua bunga-bunga itu, bukan karena kasihan, tapi karena semangat kerja dan keyakinan si anak kecil yang memberinya pelajaran berharga hari itu.

Tidak jarang kita menghargai pekerjaan sebatas pada uang atau upah yang diterima. Kerja akan bernilai lebih jika itu menjadi kebanggaan bagi kita. Sekecil apapun peran dalam sebuah pekerjaan, jika kita kerjakan dengan sungguh-sungguh akan memberi nilai kepada manusia itu sendiri. Dengan begitu, setiap tetes keringat yang mengucur akan menjadi sebuah kehormatan yang pantas kita perjuangan.

(Source by: Andrie Wongso)
»»  Baca lebih lengkap...

Kisah Dua Tukang Sol Sepatu

Mang Udin, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol. Pagi buta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Mang Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.

Perut mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.

Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.

“Bagaimana dengan hasil hari ini bang? Sepertinya laris nich?” kata mang Udin memulai percakapan.

“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.

“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata mang Udin memelas.

“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”

“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata mang Udin sedikit kesal.

“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata bang Soleh sambil tetap tersenyum.

“Emang begitu bang?” tanya mang Udin, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.

“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.

Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.

“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”

Akhirnya, mang Udin mengikuti bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hapal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.

Setelah shalat, bang Soleh mengajak mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti,

“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”

Akhirnya mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, mang Udin berkata,

“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk dapur abang berkurang dipakai traktir saya.”

“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.

“Abang yakin?”

“Insya Allah.” jawab bang soleh meyakinkan.

“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.

“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.

Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa.

“Apa kabar mang Udin?”

“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa koq penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.

Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata,

“Masih ada hal yang perlu mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”

“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin penasaran.

“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,

“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”

“Bukan tidak, cocok. Mungkin keyakinan mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.

Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh bang Soleh.

“Bagaimana supaya yakin bang?” kata mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.

Rupanya, bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan.

“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, disini?” tanya bang Soleh.

“Tidak.”

“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”

Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.

“OK dech, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih abang.” kata mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.

“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”

Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimist bahwa hidup akan lebih baik.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Rasulullah saw. bersabda: Allah Taala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jamaah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”

»»  Baca lebih lengkap...

Kebahagiaan Yang Menular


Seorang pemuda berangkat kerja dipagi hari... Memanggil taksi, dan naik...

'Selamat pagi Pak,'...katanya menyapa sang sopir taksi terlebih dulu...
'Pagi yg cerah bukan?' sambungnya sambil tersenyum,... lalu bersenandung kecil...
Sang sopir tersenyum melihat keceriaan penumpangnya, dgn senang hati, Ia melajukan taksinya...
Sesampainya ditempat tujuan.. Pemuda itu membayar dgn selembar 20ribuan, utk argo yg hampir 15 ribu...

'Kembaliannya buat bpk saja...selamat bekerja Pak..' kata pemuda dgn senyum...
'Terima kasih...' jawab Pak sopir taksi dgn penuh syukur...

'Wah.. aku bisa sarapan dulu nih...' Pikir sopir taksi itu... Dan ia pun menuju kesebuah warung.

'Biasa Pak?' tanya si mbok warung.
'Iya biasa.. Nasi sayur... Tapi.. Pagi ini tambahkan sepotong ayam', jawab Pak sopir dgn tersenyum.

Dan, ketika membayar nasi, di tambahkannya seribu rupiah, 'Buat jajan anaknya si mbok,..', begitu katanya.

Dgn tambahan uang jajan seribu, pagi itu anak si mbok berangkat kesekolah dgn senyum lebih lebar.

Ia bisa membeli 2 buah roti pagi ini... Dan diberikannya pada temannya yang tidak punya bekal.

Begitulah...cerita bisa berlanjut.. Bergulir... .seperti bola salju...

Pak sopir bisa lebih bahagia hari itu...
Begitu juga keluarga si mbok...
Teman2 si anak...
keluarga mrk...
Semua tertular kebahagiaan...

Kebahagiaan, sprt juga kesusahan, bisa menular kpd siapa saja disekitar kita...

Kebahagiaan adalah sebuah pilihan...
Siapkah kita menularkan kebahagiaan hari ini??

Bisa menerima itu adalah berkah...
Tapi bisa memberi adalah anugerah....

Semoga sisa hidup kita selalu bahagia dan membuat org lain bahagia dgn keberadaan kita,

Mari selalu berbagi, semoga ada arus membahagiakan yg terus berputar, dan jgn pernah dengki dgn kebahagiaan yg dimiliki org lain, apalagi berusaha menghilangkannya.

»»  Baca lebih lengkap...

Ibu, maafkan aku... anakmu...

Saat ini Aku gembira sekali, Aku berada ditempat yang hangat dan nyaman walaupun gelap. Tapi ah, itu tidak masalah, Aku tetap gembira sekali, Tuhan telah memilihkan tempat ini untukku. Aku bisa merasakan Ibu tersenyum, mendengarkan suara Ibu yang lembut.

Tapi Bu, kenapa beberapa hari ini Ibu menangis..? Malam ini Aku juga mendengar Ibu menangis, bahkan ketika tangisanmu semakin menjadi, tiba tiba Ibu memukulku, yang masih ada dalam perut Ibu. Aku Kaget sekali Bu... Aku ingin sekali memelukmu dan bertanya kepadamu, "kenapa Ibu bersedih...?", "Siapa yang telah membuat Ibu menangis...?".

Tapi Ibu terus memukulku... sakiiiit Bu...
Ibu.. Aku ingin bertanya, "kenapa hari ini Ibu mencaci maki Aku...?", Aku bahkan tidak tahu apa salahku...? Tapi, Ibu tidak menjawab pertanyaanku, yang ada Ibu hanya berteriak sambil menyebutkan nama seseorang yang Ibu katakan sebagai ayahku, seseorang yang kemarin memukul Ibu.

Ibu... Aku ingin membelai wajahmu dan mengusap air matamu, Aku ingin mengatakan Aku sayang Ibu agar Ibu tenang, tapi tanganku masih terlalu kecil untuk bisa merangkul bahkan membelai wajahmu Bu. Tapi tenanglah Bu, aku benar benar akan membahagiakan Ibu saat aku tumbuh besar nanti. Aku akan menjadi jagoan kecil Ibu dan melindungi Ibu, agar tidak ada lagi yang menyakiti Ibuku.

SAAT ABORSI

"Ibu...kenapa seharian ini Ibu tetap menangis...? Apa Aku berbuat salah...? Ibu, hukumlah Aku jika Aku salah, tapi tolong usir benda yang menarikku ini...! Ibu dia jahat padaku, dia menyakitiku, Ibu... Tolong Aku...sakiiiiit...Ibuuuuu...
Buu...kenapa Ibu tidak mendengar teriakanku, Bu... Benda itu menarik kepalaku, rasanya leherku ini mau putus, dia bahkan menyakiti tanganku yang kecil ini, dia terus menarik dan menyiksaku...sakiiit... Oh Ibu...tolong hentikan semua ini, aku tidak kuat kesakitan seperti ini...Ibu...Aku sekarat..."

ABORSI SELESAI 

Ibuku sayang...
Kini aku telah bersama Tuhan di-Surga, Aku bertanya kepadaNya, "apakah Aku dibunuh..?" Dia menjawab "Aborsi...".
Ibu, aku masih tidak mengerti apa itu Aborsi...? Yang Aku tahu sesuatu itu telah menyakitiku dan Aku sedih Bu... Teman Temanku di Surga bilang, kalau Aku tidak di inginkan. Ah.. Aku tidak percaya... Aku mempunyai Ibu yang sangat baik dan sayang padaku. Mereka juga berkata, karena Aku, Ibu merasa sangat malu ! Itu Tidak benar kan Bu..? Aku kan jagoan kecil Ibu yang akan melindungi Ibu, kenapa Ibu harus malu..? Aku janji tidak akan nakal dan membuat Ibu malu. Tetapi mereka tetap bilang padaku, kalau Ibu sendiri yang membunuhku..! Tidak ! Ibuku tidak akan sekejam itu, Ibuku sangat lembut dan mengasihiku...!
Maafkan Aku Ibu... Aku telah berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Karena Aku ingin membahagiakan Ibu, tapi sekarang Tuhan telah membawaku kesini, karena kejadian itu... Benda Itu telah menghisap lengan dan kakiku hingga putus...dan akhirnya mencengkeram seluruh tubuh mungilku.
Ibu.. Aku hanya ingin Ibu tahu, bahwa Aku sangat ingin tinggal bersama Ibu, Aku tak ingin pergi. Aku sayang Ibu, walaupun Aku belum sempat bernafas dan melihat wajahmu Ibu...
Ibu... Aku sangat ingin mengatakan, biarlah Aku sendiri yang merasakan, sakitnya diperlakukan seperti itu, asal jangan Ibu.
Ibu...Maafkan Aku...karena gagal menjadi jagoan kecil...yang akan melindungi Ibu...
Selamat tinggal Ibu...
»»  Baca lebih lengkap...