"Ki... Tolongin mama sebentar dong." Aku merungut sambil
beringsut setengah malas. Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di
rumah. Sejak bang Edo kuliah di Jakarta, akulah yang jadi tempat mama
minta tolong. Biasanya bang Edolah yang mengantar mama ke supermarket,
ke pengajian, atau sekadar membawakan tas mama yang pulang dari kantor.
Rajin ya ?
Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang
aku ? Wuih, biasanya aku dengan bandelnya menghindar. Tapi sekarang aku
sudah tidak bisa lari lagi.
"Ki, anterin mama ke rumahnya
bu Dedi ya ? Ada arisan." Aku hanya bisa menghembuskan nafas
panjang. Aduh, rasanya malas sekali harus menghabiskan berjam-jam
bersama ibu-ibu. Belum lagi nanti ditodong pertanyaan, "Mana nih
calonnya? Kan kuliahnya sudah tingkat akhir...". Risih saja ditanya
hal-hal semacam itu. "Mmm, ini Ma. Kiki mau belajar, nanti ujian." "Yah,
Ki. Kan cuma sebentar. Paling dua jam..." "Soalnya bahannya banyak
banget, Ma. Nanti Kiki dapat nilai jelek lagi." "Ya, sudah. Mama pergi
sendiri..."
Aku menunduk sambil pergi. Rasanya tidak enak
melihat sinar kecewa di mata mama. Memang, sejak papa meninggal, mama
makin sering minta ditemani ke mana-mana. Mungkin mama kesepian.Di hari
kerja, mama disibukkan dengan urusan kantornya. Sedang di akhir pekan,
mama selalu minta ditemani anak-anaknya. Kalau bang Edo sih anak manis.
Dia mau saja menuruti keinginan mama. Kalau aku dilarang pergi di akhir
pekan, rasanya seperti hukuman. Maklumlah aktivis. Kesempatan ada di
rumah tidak terlalu banyak.
Aku masuk ke dalam kamarku dan
mulai membuka buku. Sebetulnya aku tidak bohong sih. Memang akan ada
ujian. Tapi sebenarnya masih dua minggu lagi. Jadi aku tidak bohong kan?
Aku berusaha berkonsentrasi memahami apa yang tertulis di buku tebal
itu. Entah kenapa pikiranku malah melayang-layang. Dari jauh terdengar
derum mobil mama menjauh dari rumah. Ada perasaan bersalah yang menyelip
di hatiku.
Akhir pekan berikutnya, bang Edo pulang ke
Bandung. Aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mama senang sekali. Semalam
sebelumnya, mama memasakkan semua masakan kesukaan bang Edo. Ah, dasar
anak kesayangan. Tapi aku tidak iri. Biarkan saja. Setidaknya akhir
pekan ini aku bebas berkeliaran. Tugas jadi pendamping mama diambil alih
bang Edo untuk minggu ini.
"Ki, kenapa sih kamu nggak mau nganterin mama ?", tanya bang Edo sambil mencomot sebuah pisang goreng dari atas meja.
Aku hanya melirik sekilas dari komik yang sedang aku baca.
"Ya, biarin aja. Mama kan udah gede. Pergi sendiri kan juga bisa."
"Masa kamu nggak kasian ? Mama tuh sedih banget lho sama kelakuan kamu."
"Kata siapa ?"
"Mama sendiri yang bilang."
"Kan bisa dianter supir. Masa abang nggak ngerti sih ? Urusanku kan banyakjuga."
"Huu... Mana, cuma baca komik gitu !"
Aku
cuma bisa nyengir tersindir. Tak lama kemudian abang pergi bersama
mama. Kelihatannya mereka akan pergi ke resepsi pernikahan. Habis,
bajunya rapi sekali. Tawaran untuk ikut seperti biasa aku tolak.
"Ki,
mama minta tolong dong..." Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh,
mama.... Belum sempat aku menjawab, mama sudah melongok ke dalam kamar.
Aku hanya bisa meringis.
"Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong."
"Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?"
"Iya,
tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke sana. Kayaknya
berkas-berkas itu ketinggalan deh di sana. Soalnya di mobil udah nggak
ada. Bisa nggak kamu ambilin ?"
Aku melongo. Rasanya ingin
teriak. Kali ini aku benar-benar sibuk !Besok ada dua tugas yang harus
dikumpulkan. Belum lagi sorenya adaujian akhir. Mana sempat
mampir-mampir ke rumah orang ? Mana sudah malam begini...
"Aduh, Mama.... Kiki bener-bener sibuk... Besok ada ujian dantugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi..."
"Ya, udah kalo kamu nggak mau.", balas mama dengan ketus.
Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku.
"...Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama Mama...", bisik mama lirih dengan sedikit terisak.
Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit dengan lesu.
Dengan lemas akhirnya aku memanggil mama.
"Iya deh Ma... Biar Kiki yang pergi..."
Gelap.
Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan yang sudah mati.Jalanan jadi
tidak jelas terlihat. Capek rasanya harus berusahamelihat. Itulah
sebabnya aku tidak suka menyetir malam-malam.
Rumah Bu
Joko sebenarnya tidak jauh dari rumah kami. Tapi karena sudah malam,
palang-palang jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada
penjaganya. Jadinya, aku harus mengambil jalan memutar yang letaknya
cukup jauh. Kalau tidak salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup
ketika malam adalah... Ah, dari sini belok kiri. Astaghfirulllah...
Ternyata ditutup juga... Aku membaringkan kepalaku di atas kemudi.
Rasanya penat sekali. Entah, harus masuk ke kompleks ini lewat jalan
yang mana. Akhirnya kususuri perumahan itu jalan demi jalan. Semuanya
terkunci. Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku menemukan
jalan masuknya. Jalan itu begitu sempit. Jika ada dua mobil berpapasan
dari arah yang berlawanan, pastilah salah satunya harus mengalah.
Rasanya
lega sekali ketika sampai di depan rumah bu Joko. Kutekanbelnya sekali,
tidak ada jawaban. Dua kali, tetap tidak ada jawaban.Tiga kali, empat
kali, hasilnya tetap sama. Aku menunduk lesu.Jangan-jangan Mereka sudah
tidur... Hampir saja aku berbalik pulang.Tapi kata-kata mama terngiang
di kepalaku. "Tolong ya Ki... Soalnyaberkas-berkas itu mau mama pakai
untuk presentasi besok pagi."Akhirnya dengan menelan setumpuk rasa malu,
kutekan lagi bel rumah mereka sambil mengucapkan salam keras-keras.
Dari
belakang aku mendengar suara berdehem. Aduh, ada hansip. Akumenangguk
basa-basi. Aduh, mama ! Bikin malu saja ! "Oh, kertas apa ya ?", tanya
bu Joko dengan mata setengah mengantuk. Dasternya melambai-lambai kusut.
Aku jadi tidak enak sendiri menganggu malam-malam begini. Menit-menit
selanjutnya, kami berdua mencari-cari berkas yang dikatakan mama. Tidak
hanya di ruang tamu. Tapi juga di ruang tengah, ruang makan dan dapur.
Soalnya tadi mama juga mampir di tempat-tempat itu. Ternyata tetap saja
hasilnya nihil. Lalu aku menelepon ke rumah.
"Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di map warna apa ?"
"He..he...he...Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi Isah diturunin dari mobil terus ditaruh di meja makan."
"Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa handphone !"
"Wah, maaf Ki... Mama nggak tahu kamu bawa handphone. Mama kira..."
"Ah,
udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !"Aku lantas membanting gagang telepon
dengan sedikit kejam. Aku berbalik dan menemukan bu Joko menatapku
dengan tatapan ngeri. Aku memaksakan sebuah senyuman, minta maaf lalu
pamit secepatnya.
Setengah ngebut aku memacu mobilku.
Hujan rintik-rintik membuat ruang pandangku semakin sempit. Nyaris jam
dua belas malam. Hah, dua jam terbuang percuma. Kalau dipakai untuk
mengerjakan tugas, mungkin sekarang sudah selesai... Dasar mama ...
Brakkk!!!
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Bunyinya seperti kaleng
yang robek. Sesaat aku merasa semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa
lagi membedakan mana atas dan bawah. Sekujur tubuhku seperti dihimpit
dari berbagai arah. Sejenak kesadaranku seperti lenyap.
Penduduk-penduduk
sekitar mulai berdatangan. Mereka membantuku keluar dari mobil yang
sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu. Ketika kusentuh,
rasanya lengket. Ya Tuhan, darah... Tubuhku lebih gemetar karena takut
daripada karena sakit.
"Neng, nggak apa-apa neng ?", tanya
seseorang. Aku berusaha berdiri walau sempoyongan. Kucoba menggerakkan
tangan, kaki, serta ngecek apakah semuanya masih ada. Kupejamkan mata
dan berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya tubuhku baik-baik saja.
Tidak ada yang patah.
Aku menatap rongsokan mobilku dengan
tidak percaya. Ternyata aku menabrak sebuah truk besar yang sedang
diparkir di pinggir jalan. Sumpah, aku tidak melihatnya sama sekali tadi
!
"Neng, nggak apa-apa ?", ucap seseorang mengulangi
pertanyaannya. Aku berusaha menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan
darah. Orang di hadapanku lalu mengucap istighfar. Barulah aku sadar apa
yang menyebabkannya. Darah segar berlomba mengucur dari mulutku.
Lidahku... Aku langsung tak sadarkan diri.
Ketika
tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri mengikuti dan
menghajarku tanpa ampun. Air mata menetes dari mataku... Ya Tuhan, sakit
sekali....
"Udah, Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter
bilang kamu butuh banyak istirahat." Aku hanya bisa menatap mata mama
yang sembab tanpa bisa menjawab sepatah kata pun. Hanya bisa
mengeluarkan suara merintih yang menyedihkan. Mama ikut menangis
mendengarnya. Aku hanya bisa mengira-ngira. Dan dokter pun
membenarkannya. Kecelakaan itu tidak mencederaiku parah. Tidak ada
tulang yang patah, tidak ada luka dalam. Hanya satu, lidahku nyaris
putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi. Akibatnya lidahku
harus dijahit.
Sayangnya tidak ada bius yang bisa
meredakan sakitnya. Setelah itupun dokter tidak yakin aku bisa berbicara
selancar sebelumnya. Tangisku meluber lagi. Yang langsung teringat
adalah setumpuk kata-kata dan perilaku kasar yang selama ini kulontarkan
pada mama. Ini betul-betul hukuman dari Tuhan ...Walau sepertinya hanya
luka ringan, namun sakitnya teramat sangat. Setiap kali jarum
disisipkan dan benangnya ditarik, sepertinya nyawaku dirobek dan
dikoyak-koyak. Aku hanya bisa melolong tanpa bisa melawan. Apa boleh
buat. Kata dokter kalau lukanya di tempat lain, sakitnya mungkin bisa
diredam dengan bius. Tapi tidak bisa jika lukanya di lidah.
Hari-hari
selanjutnya betul-betul siksaan. Lupakanlah tentang kuliah,tugas atau
ujian. Untuk minum saja aku tersiksa. Aku menjerit-jerittiap ada benda
yang harus melewati mulutku. Agar tubuhku tidak kekurangan cairan,
tubuhku dipasangi infus. Aku hanya bisa menangis. Menangis karena sakit,
dan penyesalan. Selama aku dirawat, mamalah yang dengan telaten
menungguiku. Dengan sabar ia membantuku untuk apapun yang aku perlukan.
Kami hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai kertas. Berkali-kali aku tuliskan, "Mama, maafkan Kiki..."
Mama juga sudah berkali-kali mengatakan telah memaafkan aku. Tapi tetap
saja rasa bersalah itu tak kunjung hilang. Ini benar-benar peringatan
keras dariTuhan. Aku benar-benar malu. Walau aktif di kegiatan
keagamaan,ternyata nilai-nilai itu belum benar-benar mengalir dalam
darahku. Aku tersenguk-senguk setiap ingat bagaimana cara aku
memperlakukan mama.
Bagaimana mungkin aku merasa
diberatkan dengan permintaannya padahal aku sudah menyusahkannya seumur
hidup? Tuhan, ampuni aku... Aku benar-benar telah membelakangi nuraniku
sendiri.... Jangan biarkan aku mati sebagai anak durhaka.... Kukira
penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah. Ternyata
hukuman ini belum berakhir di situ. Bulan-bulan selanjutnya aku harus
berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini mengalir mudah dari
bibirku. Kembali lagi mama membimbingku belajar bicara seperti yang ia
lakukan ketika aku kecil.
Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata itu berhasilkuucapkan walau patah-patah. "Mama... Maafkan Kiki..."
Sumber : Mahasiswi ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar